Kamis, 28 Mei 2020

Merelakan

Bagi mereka yang telah kehilangan, bukan hal mudah untuk menerima kenyataan bahwa yang tampak oleh mata kini beralih tanpa diminta.
Bagiku, merelakan adalah sebuah penerimaan atas singgungan perasaan. Memahami dalam hening jika perasaan dua insan tak lagi sedekat bibir dan kening.

Mengapa merelakan menjadi bukti sebuah penerimaan?

Aku masih memikirkanmu menjelang tidur. Menaruh harapan jika tumpukan ceritaku akan kaudengar sebelum nafasmu kembali teratur. Lalu meminta Tuhan mengembalikan kenyamanan yang pernah menjadi pelipur.

Apa yang harus kurelakan ketika sosokmu yang selalu kuinginkan?
Kemarilah, dengarlah ceritaku, kan kuceritakan jika aku tak lagi pandai mengeluh.
Bukankah itu yang kau mau?
Memintaku lebih banyak bersyukur tanpa harus menghitung dan mengukur. 

Ajari aku untuk rela, membenahi retak yang tak lagi sepetak, menggarisbawahi cerita yang sulit dicerna otak, serta menutup malam tanpa tangis terisak.
Aku lelah, ternyata merelakan tak semudah mengucap setia, menemani sampai tua untuk sebuah bahagia.

Tuhan, tolong relakan hatiku menerima garis takdir-Mu.
Kuatkan aku menjadi perempuan yang Engkau mau. Perkenankan aku menjadi pribadi yang kembali utuh. Menebus semua kesalahan di masa lalu untuk awal yang tak lagi dianggap keliru.

Tuhan, bukan penyesalan yang kumau, tapi kerelaan hatiku melepasnya menjauh. Melihatnya bahagia tanpa perih yang tiba-tiba menyergap. Memandang cermin tanpa takut mataku sembab.

Jumat, 03 April 2020

Kehilangan

Belum rampung seluruh kebahagiaan, rumpang lagi karena kehilangan. Belum selesai mengeratkan genggaman, harus usai di tengah jalan.
Aku tau kita salah, aku tau kita takkan saling tega. Tapi aku selalu mau yang terbaik untuk kita, meski tak mungkin untuk saling berjabat selamanya.

Malam itu, kenyataan pahit harus kutelan mentah-mentah, awal dari hilang yang sesungguhnya. 
Malam itu, hidungku tersumbat, demamku semakin hebat, dan kamu yang tak lagi bisa kupeluk erat.

Aku kehilanganmu,
ketika seharusnya aku mampu untuk tak melepas tautan jemarimu.
Kita selesai, pada bab yang seharusnya tak saling abai.

Aku dan seluruh kekuatanku untuk mempertahankan kita, habis lenyap dilibas realita bahwa 'kita' bukan lagi satu makna.
Aku dan seluruh keinginanku untuk mempertahankan kita, hancur lebur tak berbentuk oleh waktu yang tak lagi mampu ditemui makhluk.

Bagaimana bila dipaksa mengakhiri kala masih mencintai? 
Aku tak ingin egois, memintamu bertahan untuk penantian tanpa dambaan. Aku pun tak ingin semakin dalam menancapkan duri pada hati yang tak ingin disinggahi.

Semoga dipertemukan dengan yang mampu mengerti dan menggenapi, mencintai tanpa menyakiti, serta mengobati dengan ribuan kasih.
Terima kasih untuk tak pernah menjanjikan kebahagiaan. Terima kasih sempat memilihku menjadi akhir peristirahatan.
Maaf atas kata yang sempat terucap.
Dariku, perempuan yang selalu ingin menetap.

Kamis, 21 Februari 2019

Lembaran Putih

Banyak hal diawali dengan baik tapi tidak semua hal diakhiri dengan baik.
Ini cerita kita yang tak mampu merawat cinta kemudian timbul luka. Tak perlu bertanya "ini salah siapa?" karena jelas salah kita. Kamu hilang tanpa kabar, aku diam tanpa sadar.

Kamu perlu jadi kamu untuk aku sayangi. Kamu butuh aku untuk saling berbagi. Katakan dengan jujur apa yang harus kukurangi jangan terburu kabur hilang tanpa permisi.
Tolong mengerti, trauma ini masih ada. Jika kedatanganmu hanya memporak-porandakan lagi, tolong akhiri. Pecahan piring takkan kembali utuh jika kaulempar lagi.

Biarkan aku merawat lukaku sendiri. Sampai aku mampu untuk bangkit kembali.

Hidup dibayangi trauma bukan perkara mudah. Aku harus bergelut dengan hati dan akal sehat. Antara takut kembali dikhianati atau memberi kesempatan untuk diikat.

Malam ini adalah malam ke sekian kali aku didekap erat trauma. Malam yang selalu ingin kupercepat berganti pagi. Malam yang kuharap dapat melepas semua bayangan buruk. Malam di mana aku bertekad untuk bisa membuka lembaran putih, menerima hati dan jatuh cinta lagi.

Senin, 31 Desember 2018

Lembar Terakhir

Terima kasih.
Terima kasih berkenan membaca. Akan kusampaikan sepatah dua patah kata sebagai akhir dari sekelumit cerita. Tentang aku, kamu, mereka, dan kita.

Tentang kesedihan harus berpisah dengan mereka, teman SMA yang kutemui dari pagi hingga siang bahkan malam hari. Menelusuri lorong-lorong gelap hingga menemukan titik terang untuk menyambung asa merajut masa depan.

Tentang terpuruknya aku karena pengharapan tanpa restu orang tua. Bapak, ibu, terima kasih untuk tidak menginzinkan aku pergi jauh. Untuk terus ada di dekat kalian, mengawasi tumbuh kembangku menjadi remaja yang kalian inginkan hingga nanti melepasku pada lelaki pilihan.
Tentang bangkitnya aku, dengan tertatih-tatih, Tuhan pertemukanku dengan mereka–orang-orang baru yang meyakinkan aku jika, "Selama kamu punya mimpi, gagal bukan alasan untuk berhenti."

Tentang kamu yang pergi dan takkan kembali. Terima kasih, karenanya aku berhasil melewati lara dalam dekap malam. Membelenggu tanpa ragu di setiap detik jam yang terdengar pilu.
Tentang kita yang hilang ditelan waktu. Menyisakan nama yang kian lama terdengar asing. Menyisakan nasehat bahwa sebaik-baik cinta adalah pada Sang Pencipta.

Terima kasih, 2018.
Terima kasih atas lika-liku perjalanan yang mendewasakan meski menyakitkan tanpa lupa menyembuhkan.

Rabu, 05 September 2018

Jika

Jika dulu aku begitu peduli maka kini aku belajar tuli. Pada kita yang telah selesai atau perbincangan mereka yang tak pernah usai.

Jika dulu kita saling berbagi maka biarkan kini aku tak ingin memberi. Luka yang kau gali bukan lagi dispensasi yang dapat ku beri berulang kali.

Jika hari ini adalah masa depan, izinkan hatiku kembali bertuan. Menemui seseorang yang takkan memberi harapan lalu jauh meninggalkan.

Jika hari ini aku memilih berhenti, biar lelah ini menjadi saksi. Ketika langkahmu terus mendahului bukan lagi menyamai. Untuk hati, izinkan aku memberimu jeda. Bagi apapun yang kita lalui bersama meski bukan indah yang kita terima.

Jika 'nanti' bukan milik kita, rencana Tuhan jauh luar biasa.
Menyatukan kita di simpang jalan hingga memisahkan di tautan lengan.

Untuk kisah yang terkikis usia.
Untuk asa yang tak bersisa.
Terima kasih telah ada.
Terima kasih untuk tidak menyerah.

Selasa, 21 Agustus 2018

Seandainya

Seandainya aku tahu bahwa dia bukanlah aku. Ia yang selalu kau hubungi setiap malamnya. Ia yang kau jaga di setiap pintanya.

Seandainya aku lebih dulu sadar bahwa kita hilang komunikasi. Aku tahu ini salahku, tapi apa ini juga salahmu? Kau tak pernah memberiku kabar hingga aku berpikir kau sedang sibuk-sibuknya.

Seharusnya aku tahu bahwa itu kesempatan kalian menjadi lebih dekat. Seharusnya aku tahu tak selamanya perempuan dan laki-laki menjadi teman dekat.

Bukankah harusnya kita saling percaya? Saling berbagi cerita atau saling bertukar pikiran?

Tidak. Sedikit pun tak kau beri waktu untuk itu.

Seandainya bisa memutar waktu aku ingin kau tahu. Aku tak pernah kalah.
Aku menang saat kau ingin melepas genggaman tangan.
Aku menang saat kau memintaku menjadi kenangan.

Seandainya kau tahu, semesta lebih menginginkanku untuk bersanding dengannya. Membunuh kenangan pahit yang pernah ada hingga menikmati langit senja di akhir masanya.

Sabtu, 21 April 2018

Perpisahan

Aku sering menolak ingat perihal perpisahan. Sebuah kenyataan yang akan membawa kita menuju akhir sebuah pertemuan.

Aku menyadari betapa indahnya kebersamaan, betapa berharganya sebuah pertemuan, dan betapa pentingnya pertemanan.
Kalian, keluarga kedua yang kumiliki setelah orang tua dan saudara. Kalian, teman menanggung kewajiban berbulan-bulan. Dan kalian, sosok-sosok yang akan kurindukan selepas perpisahan.

Adalah aku, yang mencoba menjalani semua dengan sederhana. Dengan asumsi bahwa semua akan baik-baik saja. Seolah-olah kita tetap berjumpa esok hari, layaknya teman satu sekolah.
Adalah aku, yang ingin melewati perpisahan dengan hangat, sehangat mentari sebelum jam pertama.

Malam ini, telah kurekam semua dengan baik. Teduh pandanganmu, semangat membaramu, hingga senyum ketulusanmu. Malam ini, telah kupelajari dengan baik. Tentang berharganya waktu dan cara melepaskanmu.

Menangislah jika kau mau. Tak ada yang melarang air matamu jatuh. Ia mengalir dengan sendirinya. Ia hanya ingin membebaskan seluruh sesak agar kau paham tidak semua hal dapat disembunyikan.

Lepaskan, seperti kalian yang dengan mudah melepas balon perpisahan. Biarkan ia pergi mencari jati diri. Meraih mimpi dan cita-citanya selama ini. Menjadi sosok yang akan kalian banggakan nanti.

Terima kasih, Gardacitya.
Terima kasih, SMANDA.

Merelakan

Bagi mereka yang telah kehilangan, bukan hal mudah untuk menerima kenyataan bahwa yang tampak oleh mata kini beralih tanpa diminta. Bagiku,...